Foto: Calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto saat mengunjungi makam Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi di Masjid Al Riyadh, Kwitang, Jakarta, Jumat (16/2/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Jakarta, CNBC Indonesia – Tahun ini menjadi tahun yang penting bagi Indonesia. Bukan hanya terkait dengan Pemilu, tetapi tahun 2024 diperkirakan sebagai tahun puncak keberadaan bonus demografi di Indonesia.
Indonesia telah mengalami bonus demografi sejak tahun 2012 dan puncaknya diperkirakan terjadi pada periode 2020-2035. Bank of Japan dalam laporannya Demographic Changes in Asia and Japan’s Economic and Financial Developments memperkirakan puncak dari demografi Indonesia adalah pada 2025.
Bonus demografi merujuk pada kondisi di mana jumlah usia penduduk produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan usia nonproduktif. Survei penduduk 2020 menunjukkan jumlah usia produktif Indonesia menembus 191,08 juta atau 70,72% dari total penduduk.
Sayangnya, bonus demografi ini belum diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang mumpuni. Padahal, syarat menjadi negara maju bukan sekedar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Buktinya, Human Development Index (HDI) United Nation Development Program (UNDP) menempatkan Indonesia di urutan 114 dari 191 negara pada 2021.
Peringkat Indonesia naik sedikit pada 2020 yakni 116. Namun, Indonesia kalah jauh dibandingkan negara ASEAN lain seperti Singapura yang berada pada urutan 12, Malaysia 62, atau Thailand 66.
Maka masalah ini menjadi tantangan besar bagi presiden terpilih kelak. Dari hasil Pemilu, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjadi pemimpin yang unggul. Jika berjalan mulus berdasarkan perhitungan KPU, maka keduanya akan menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia.
Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mengaku telah memetakan 8 tantangan yang menjadi dasar penyusunan visi-misi pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut.
Pemanfaatan bonus demografi menjadi salah satu tantangan yang mendesak untuk diselesaikan. Jika tidak, maka sulit Indonesia keluar dari middle income trap.
Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Prabowo menyebut Indonesia tinggal mempunyai waktu 13 tahun tersisa untuk menikmati bonus demografi. Kalau bonus tersebut tidak bisa dimanfaatkan, maka Indonesia akan berpotensi menjadi negara berpenduduk tua dengan pendapatan menengah.
“Mungkin yang banyak belum menyadari, kita hanya punya waktu sekitar 13 tahun untuk memanfaatkan bonus demografi kita. Kalau enggak, kita nanti keburu tua sebelum sempat kaya,” kata Drajad dalam acara Your Money Your Vote di CNBC Indonesia, dikutip Senin (19/2/2024).
Karena itu, Drajad mengatakan Prabowo-Gibran ingin melakukan gerak cepat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Dengan demikian, kata dia, maka visi-misi Indonesia Maju 2045 akan bisa terlaksana.
“Ini harus kita percepat, karena itu tadi visi-misi yang kita punya itu mencapai Indonesia emas 2045 jadi harus kita manfaatkan betul,” ujar dia.
Prabowo yang kini masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan telah menegaskan komitmennya untuk memanfaatkan bonus demografi untuk mencapai Indonesia emas 2024. Terkait dengan hal ini, dia menegaskan bahwa kehidupan negara demokrasi yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa-bangsa kita adalah negara yang berkedaulatan rakyat, dimana rakyat menentukan masa depannya sendiri. Kuncinya adalah membangun suatu bangsa agar kesejahteraan lebih merata.
“Ekonomi Pancasila menurut saya yaitu prinsip-prinsip ekonomi yang harus berdasarkan Pancasila, berdasarkan asas-asas religius. Berarti ajaran keserakahan tidak cocok sama kita. Yang lemah harus kita angkat, yang kuat membantu yang lemah,” kata Prabowo dalam pidatonya.
“Selain itu ekonomi kita harus mewujudkan persatuan nasional. Satu untuk semua, semua untuk satu. Ekonomi yang berpihak kepada kepentingan nasional dan kerakyatan. Harus ada keberpihakan kepada yang lemah dan miskin. Serta ekonomi yang harus menuju keadilan sosial,” tegasnya.
Belajar dari Jepang & Korsel
Korea Selatan dan Jepang adalah dua raksasa Asia yang mampu memanfaatkan secara maksimal bonus demografi mereka untuk keluar dari middle income trap dan menjadi negara maju.
Tim Riset CNBC Indonesia mencatat bonus demografi Jepang dimulai pada 1964 dan berakhir pada 2004. Pada periode tersebut, penduduk usia produktif di Jepang mencapai 68-69% dari populasi.
Bonus demografi datang berbarengan dengan reformasi besar-besaran Negara Sakura. Termasuk adalah reformasi struktur ekonomi dari primer ke industri sekunder dan tersier sejak Jepang kalah di Perang Dunia II.
Adalah Perdana Menteri (PM) Hayato Ikeda yang mencanangkan program ambisius menggandakan pendapatan mereka pada 1960. Untuk mendukung ambisinya, Jepang kemudian gencar melakukan reformasi ekonomi. Di sektor pertanian, pemerintah menaikkan harga produk pertanian dan mendukung efisiensi produksi.
Di sektor industri, Jepang memangkas pajak dan menurunkan bunga pinjaman untuk menopang investasi. Di perdagangan, Jepang membuka diri untuk liberalisasi.
Pemerintahan Ikeda juga jor-joran investasi di bidang infrastruktur, komunikasi, serta inovasi teknologi.
Reformasi terus dilanjutkan hingga 1970 di mana Jepang mulai beralih kepada industri kimia dan berat dengan mendirikan banyak pabrik serta produk yang dibutuhkan masyarakat.
Merujuk pada Statistical Handbook of Japan 2022, industri primer Jepang masih menjadi peyumbang utama tenaga kerja dengan porsi 48,6% pada 1950. Sementara itu, industri sekunder menyumbang sektor tenaga kerja sebesar 21,25% dan industri tertier 29,7%.
Proporsi tersebut mulai berubah drastis sejak reformasi besar-besaran di sektor industri Jepang. Pada 1970, industri primer hanya menyumbang 19,3% tenaga kerja sementara industri tertier 46,6% dan industri sekunder 34,1%.
Kemudian, pada 2020, industri primer hanya menyumbang 3,2% tenaga kerja sementara industri tertier sebesar 73,4% dan industri sekunder 23,4%. Sektor industri primer Jepang mencakup pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Adapun, industri sekunder Jepang mencakup pertambangan, manufacture, dan konstruksi. Sementara itu, industri tertier mereka mencakup layanan listrik dan gas, perdagangan ritel, real estate, layanan pengembangan kesehatan, pendidikan, industri keuangan, serta industri informasi dan komunikasi.
Pembangunan tersebut melambungkan Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang dari hanya US$ 568, 91 atau sekitar Rp 8,7 juta setahun pada 1960 menjadi US$ 39.912 per tahun atau sekitar Rp 607,26 juta pada 2021 atau naik 6.821%.
Pada 1981-1989, rata-rata ekonomi Jepang bahkan mampu menembus 4,5% dan terdapat beberapa periode mereka tumbuh 7-9%. Pendapatan per kapita Jepang pada puncak bonus demografi mereka sekitar 1990 sudah menembus US$ 27.000. Fase ini menandai Jepang resmi keluar dari middle income trap dan menjadi negara maju.
Korea Selatan tercatat mampu keluar dari jebakan negara kelas menengah. Ekonomi Korea Selatan hancur lebur setelah perang saudara berakhir pada 1953. Negara Ginseng bahan menjadi salah satu negara termiskin di dunia pada tahun tersebut. Namun, negara tersebut bisa bangkit menjadi negara maju.
Kesuksesan Korea tidak bisa dilepaskan dari invesatsi besar-besaran di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta industri. “Keajaiban ekonomi” Korea dimulai pada pemerintahan Jenderal Park Chung Hee yang melakukan kudeta pada Mei 1961.
Apa yang dilakukan Jenderal Park?
Dia menetapkan periode lima tahunan untuk rencana ekonomi dan pembangunan Korea Selatan. Skema ini pun diadopsi oleh pemimpin selanjutnya. Alhasil, Korea dengan tingkat pendapatan rata-rata yang rendah pada tahun 1969, mencapai tingkat pendapatan rata-rata yang tinggi pada tahun 1988 dan mencapai ambang batas negara-negara berpendapatan tinggi pada tahun 1995.
Oleh karena itu, hanya dalam waktu tiga dekade, Korea telah mencapai lompatan ajaib, yang mendorong negara tersebut dengan cepat keluar dari jebakan pendapatan menengah.
Berikut ini contoh rencana pembangunan lima tahunan Korea Selatan:
1. Periode lima tahun pertama ( 1962-1966)
Fokus pada tahun tersebut adalah pada industri tekstil untuk membat Korea mandiri. Pemerintah menasionalisasi bank komersoal dan mengizikan sistem perbankan mengontorl kredit. Langkah lain adalah dengan menyediakan bunga rendah untuk sektor bsnis serta mendorong industri ringan memulai ekspor.
2. Lima tahun kedua ( 1967-1971)
Korea mulai beralih ke industri berat dan mengundang investor asing untuk memperbaiki infrastruktur dasar. Korea mulai melakukan modernisasi pada struktur industri dan mengembangkan industri substitusi termasuk baja, mesin, dan kimia.
3. Lima tahun ketiga (1972-1976)
Negara Ginseng mulai mengembangkan industri orientasi ekspor dan mengembangkan industri ke wilayah yang terbelakang. Sektor industri berat makin digalakkan termasuk besi baja, transportasi, elektronik, dan petrokimia. Mereka juga memastikan ketersediaan bahan baku untuk barang modal
4. Lima tahun keempat (1977-1981)
Korea mulai mengembangkan industri yang mampu bersaing dengan pasar ekspor dan global. Korea juga mulai fokus ke industri padat modal serta dipenuhi tenaga kerja terampil seperti elektronik dan shipbuilding.
5. Lima tahun kelima (1982-1986)
Korea Selatan mulai beralih dari industri berat dan kimia kepada padat teknologi. Mereka membuat produk teknologi canggih seperti televisi, kulkas dan alat komunikasi
6. Lima tahun keenam (1987-1991)
Korea fokus beralih ke industri berbasis teknologi. Mereka juga melakukan lineralisasi perdagangan dan menghapus tarif perdagangan
7. Lima tahun ketujuh (1992-1995)
Korea mulai mengembangkan sektor teknologi kelas mutakhir dan baru seperti microelektronik, fine chemical, dan lainnya. Pemerintah dan pelaku industri bekerja sama membangun fasilitas teknologi tinggi di tujuh kora utama sehingga terjadi pemerataan pembangunan. Korea juga meningkatkan mutu kualitas SDM mereka dnegan memperbaiki pendidikan. Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan tinggi meningkat dari 1% dari PDB pada 1970 menjadi 1,9% dari PDB https://knalpotbelah.com/pada 2000.